Pages

Mandacan sebuah etimologi rakyat

Mandacan adalah sebutan yang dialamatkan kepada masyarakat asli orang Manukwar pemilik gunung Arfak (Indon). Secara kultur orang orang yang disebut Mandacan memiliki kesamaan budaya dan mereka tersebar disekitar gunung Arfak, mulai dari pegunungan hingga ke kaki gunung tersebut. Mandacan atau juga sering disebut dengan Arfak sebenarnya mengingatkan pada kelompok masyarakat yang berasal dari satu moyang.

Secara pasti darimana sebutan Mandacan berasal mungkin hanya orang yang disebut dengan sebutan tersebut yang mengetahui. Atau bisa juga orang orang pertama yang mengadakan kontak dengan kelompok masyrakat ini yang mengetahui arti kata tersebut. Berdasarkan informasi yang diketahui menyebutkan bahwa masyarakat pesisir yang mengadakan kontak pertama dengan masyarkat yang sekarang kita sebut dengan sebutan Arfak adalah orang orang Biak. Dari kontak inilah maka banyak tempat di kota Manokwari ini yang dinamai dengan bahasa Biak. Sebutlah sebagai contoh kata Manokwari atau Manukwar, Arfak, Warmare dan beberapa tempat lainnya.

Mandacan bisa jadi berasal juga dari bahasa Biak. Dan menurut salah satu sumber menyebutkan bahwa Mandacan berasal dari bahasa Biak ‘Mandrasuan’ yang artinya orang dari gunung. Tetapi orang Arfak sendiri mungkin juga mempunyai cerita tentang asal usul nama Mandacan. Arfak yang memiliki beberapa suku mungkin mempunyai pandangan sendiri sendiri tentang sebutan tersebut. Dan dari sekian suku Hattam merupakan salah satu suku terbesar di Arfak, Manokwari.

Untuk itu dalam penulisan berikut akan menjelaskan rekayasa fonologis tentang asal usul kata Mandacan. Namun sebelumnya akan dijelaskan sekilas tentang sejarah asal usul orang Hattam.

Nenek moyang orang Hattam yang pertama bernama Indow dan Sungkuwei. Indow dan Sungkuwei hidup digunung Ngendi, dan mereka berdua mempunyai orang tua yang dilegendakan dengan seekor Katak raksasa. Diantara mereka berdua ada yang pergi kegunung Kapongerai dan melahirkan tujuh anak. Tujuh anak ini kemudian menyebar dan menempati beberapa lokasi disekitar kaki gunung Arfak. Dan ketujuh anak itulah yang kemudian disebut sebagai orang Arfak atau tujuh suku besar Arfak dengan bahasa dan budayanya yang ada sekarang.

Kata ’tujuh’ dalam bahasa Hattam disebut dengan muhidacan yang terdiri dari muhi lima da tamba dan can dua. Secara fonologis (ilmu yang mengkaji tentang susunan bunyi bahasa) muhidacan dan mandacan mempunyai kemiripan yang bisa diasumsikan korelasi maknanya. Karena itulah ketika mendengar cerita yang dituturkan informan. kami bertanya; Apakah Mandacan artinya tujuh?. Menurut informan tersebut bahwa benar mandacan artinya tujuh, dan tujuh yang dimaksud adalah mungkin saja tujuh anak yang lahir digunung Kapongerai.

Berikut ini dengan menggunakan pendekatan historical phonology (sejarah perubahan bunyi) akan dispekulasikan bagaimana perubahan tersebut terjadi.

Mandacan secara aturan bunyi awalnya berasal dari kata muhidacan yang terdiri dari empat suku kata (silable) kemudian berubah menjadi muidacan dengan tiga silabel dan diftong sebagai suku kata pertama dan akhirnya menjadi mandacan. Dari sifatnya, perubahan bunyi bisa bersifat melemah atau sebaliknya menguat. Proses yang bersifat melemah disebut dengan ’lenition process’ sedang proses yang cenderung menguat disebut dengan ’fortition process’. Perubahan bunyi muhidacan menjadi mandacan adalah proses lenition (melemah).

Jika digambarkan rekayasa fonologinya maka perubahan tersebut terjadi sebagai berikut: [mu.hi.da.can] à [mu ̃i.da.can] à [mən.da.can]. Proses dari [mu.hi.da.can] à [mu ̃i.da.can] terjadi pelesapan konsonan (consonant deletion) pada silabel kedua yaitu konsonan /h/ voiceless pharyngial fricative menjadi konsonan /n/ voiced alveolar nasal stop. O’Grady et. al (2005. p. 255) menyatakan bahwa konsonan cenderung mengalami pelemahan apabila berada diantara vokal. Dan dari sifat pelemahannya bunyi bunyi yang termasuk dalam voiceless fricative (bunyi tak bersuara yang berdesir) cenderung melemah mejadi voiced stop atau voiced fricative. Dan proses ini secara otomatis akan berdampak juga pada terjadinya proses metathesis (berubahnya urutan bunyi).

Sedangkan perubahan dari [mu ̃i.da.can] à [mən.da.can] terjadi proses yang disebut dengan vowel reduction/ deletion penyusutan atau pelesapan vokal. Lebih tepat proses ini disebut dengan ‘syncope’. Syncope adalah proses fonologis yang menyebabkan terjadi perubahan bunyi fonem vokal pada ’un-stressed silable’ atau suku kata yang tidak mendapat penekanan.

mandacan secara etimologi berasal dari muhidacan yang artinya tujuh dan tujuh adalah anak anak yang lahir digunung Kapongerai.


‘Asal Mula Suku Hatam’


Pada mulanya diatas gunung Kapongerai hiduplah seekor Katak, suatu ketika katak tersebut memuntah diatas batu. Ketika memuntah dari mulut katak tersebut keluarlah sepasang anak manusia. Yang menurut orang Hattam dikenal sebagai nenek moyang mereka, Mereka berdua bernama Indow dan Sungkuwai. Indow seorang anak laki laki dan Sungkuwai anak perempuan.

Indow kemudian ketika bertumbuh menjadi dewasa melangkah dan menjelajahi pegunungan Arfak hingga menuruni lembah dan singgahlah ia dibeberapa tempat disekitar Manokwari. Indow awalnya sampai ditempat yang merupakan kampong tua Hattam. Disitulah pertama kali suku Hattam menetap. Orang Hattam menganggap kampong kampong seperti Meniy dan Subsay adalah kampong tua atau asli dengan nuansa KeHattaman mereka. Dari Hattam kemudian menyebarlah ia ke beberapa tempat seperti Ransiki dan Minyambouw. Ketika menyebar ke Minyambow, dan Ransiki kawinlah ia disana dan memiliki banyak keturunan dan mereka tersebar pula kebeberapa tempat yang kemudian dikenal sebagai Manikion, Sough, dan Moile. Hal yang sama terjadi juga terhadap Sungkuwei.

Selain itu Hattam juga ada yang berasal dari gunung Ngendi didaerah Minyambouw. Digunung Ngendi ini suku Hattam awalnya berasal dari seorang wanita yang melahirkan tujuh orang anak dan mereka inilah yang disebut dengan Hattam peranakan seperti Meyakh, Moile, Sough dan Manikion. Dari 7 orang anak ini kemudian menyebar kebeberapa tempat seperti pinggiran pantai Wariori, Ransiki, Kebar, Saukorem dan juga sampai ke Warmare dan Prafi. Mereka ketujuh anak anak inilah yang kemudian disebut dengan orang atau suku ‘MANDACAN’. Anak anak inilah yang kemudian meneruskan suku dan bahasa bahasa yang ada sekarang seperti Meyakh, Moile, Manikion, Sough, Artu dan Kebar. Dari Hattam ada yang kearah pantai dan berbaur dengan orang pantai seperti Biak dan Serui yang telah menempati pinggiran pantai sepanjang wilayah kepala burung. Orang orang Hattam yang kepantai ini disebut sebagai suku Masni.
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar